Dokter memutuskan
mengamputasi
kakinya. Tapi
kesabaran akan janji
Allah, membuatnya
sembuh
Hidayatullah.com
—“ Manusia langka”,
mungkin, predikat ini
pantas kiranya kita
sandangkan kepada
Sufyan. Karena
memang, apa yang
menjadi prinsipnya,
tidak sembarang
orang mampu
mengikuti.
Menganggap sakit
sebuah ujian, adalah
sesuatu yang biasa.
Namun, akan menjadi
luar biasa, apabila ada
orang yang ketika
tertimpa sakit, ia
justru merasa
mendapat kenikmatan
dan kelezatan, lebih
mengagumkan lagi,
sakit yang ia terima
tergolong ‘kelas
berat’, diabetes
mellitus, salah satu
jenis ‘pembunuh’
nomor satu di dunia.
Tapi Sufyan mampu
menikmatinya, bukan
menyesalinya. “Ni’mat
itu tidak melulu
berupa kesehatan”,
ungkapnya. Boleh jadi
karena sikap ridho dan
pasrahnya inilah, ia
akhirnya tak jadi
diamputasi. Inilah
pengakuannya.
***
Bukan Biasa
Pristiwa sakit yang
menimpa Sufyan
bermula saat
ditemukannya luka di
telapak kakinya pada
pertengan Nevember
2008 silam. Awalnya,
dia tidak mengira
kalau luka itu akan
berakibat fatal bagi
kesehatan
tubuhnya, ”Saya kira
itu luka biasa,”
terangnya. Sebab itu
Sufyan hanya berobat
di Puskesmas
terdekat.
Namun dua hari
setelah peristiwa itu,
barulah ia menyadari
kalau lukanya itu,
bukan luka biasa.
Sebab, saat itu
kakinya menjadi
bengkak, berwarna
hitam-hitaman, dan
terus mengeluarkan
cairan dan nanah.
Dengan di dampingi
sang istri, Siti Chud
Faidah, Sufyan kembali
ke Puskesmas untuk
melakukan ceck up
ulang. Dari
pemeriksaan itu,
akhirnya diketahui
kalau ia mengidap
penyakit diabetes.
Karena lukanya terus
menganga, pihak
puskesmas
menganjurkan
kepadanya untuk
melakukan perobatan
di rumah sakit.
Meski demikian,
Sufyan tidak serta-
merta mengiyakan
anjuran puskesmas
untuk berobat ke
rumah sakit, karena
terkendala dana,
“ Sempat ragu untuk
berobat. Karena biaya
rumah sakit itukan
mahal, ”’ ujarnya.
Setelah melakukan
musyawarah dengan
keluarga dan dengan
diiringi keyakinan,
bahwa Allah tidak
akan mungkin menguji
hambanya di atas
kemampuan yang
mereka miliki, maka
tekad untuk
melakukan perobatan
di rumah sakit pun
jadi. Sejak itu, Sufyan
menjalani rawat jalan.
Amputasi dan
Serangan Jantung
Manusia hanya bisa
be-rikhtiar, pada
akhirnya, Allah jualah
yang menentukan
segala sesuatu. Begitu
pula prihal penyakit
Sufyan. Meskipun
telah berobat di
beberapa rumah sakit,
Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD)
Sidoarjo, R.S.A.L Dr.
Ramlan (Surabaya),
dan R.S. Karang
Menjangan, Surabaya,
penyakitnya tak urung
sembuh, yang ada
justru sebaliknya,
tambah parah.
”Kaki ini tambah
bengkak, dan terus
mengeluarkan nanah.
Karenanya, dokter
selalu menyedot
nanah yang ada di
dalam dengan
menggunakan alat
suntik, ” kenangnya.
“Tidak itu aja, telapak
kaki ini tak ubah
seperti hati, lembek,
warnanya juga seperti
perpaduan antara
kehitam-hitaman dan
kebiru-biruan, ” imbuh
Sufyan.
Karena terus parah,
akhirnya fonis
amputasi jatuh pada
diri Sufyan.
Mendengar kata
amputasi, naluri
kemanusiaannya
tumbuh, ia sempat
meneteskan air mata,
seraya memegangi
kakinya.
“Ya Allah, bagaimana
mungkin aku hidup
tanpa kaki, “ begitu
perasaan Sufyan
dalam hati. Meskipun
vonis amputasi dinilai
dokter merupakan
keputusan akhir,
Sufyan tetap enggan
melakukannya. Ia
berkeyakinan,
Salah satu
pegangannya adalah
salah satu hadits Nabi
yang berbunyi, “Setiap
kali Allah menurunkan
penyakit, pasti Allah
menurunkan
obatnya. ” [Dalam
Shahih Bukhari dan
Muslim]
Akibat tak mau
melakukan amputasi,
tidak beberapa lama,
ia menderita serangan
jantung. Kembali
dokter menganjurkan
untuk melakukan
operasi. Namun ia
tetap kukuh menolak.
“ Saya menolak.
Biarlah kalau sudah
tiba waktunya mati,
ya mati, ” tantangnya
kala itu pada sang
dokter.
Ibarat sudah jatuh
tertimpa tangga,
selama menjalani
proses perawatan,
nyaris tidak ada
income yang masuk ke
kantong keluarganya.
Sufyan terpaksa
melakukan cuci
gudang. Semua
barang-barang layak
dijual ia jual. Mobil
yang kreditnya belum
lunas ikut amblas,
sepedah motor,
laptop, LCD, TV, kursi
tamu, beberapa
perabotan rumah
tangga adalah
diantaranya juga ikut
lenyap.
Sementara sakitnya
tak juga kunjung
sembuh. Hasil
roentgen
menunjukkan, talapak
kakinya sudah mulai
membusuk, bahkan,
beberapa jarinya
sudah tak berfungsi
lagi, karena digerogoti
oleh bakteri.
Entah karena
kesabarannya, suatu
hari, Allah
berkehendak
mempertemukan
dirinya dengan
seorang sahabat
sesama dosen yang
memiliki istri seorang
dokter.
Atas anjuran sang
teman, Sufyan
akhirnya melakukan
terapi oksigen di salah
dokter wanita yang
tak lain adalah istri
sahabatnya tersebut.
Rupanya Allah
berkehendak lain,
sedikit demi sedikit
kakinya mengalami
perubahan. Lukanya
yang awalnya
menganga, kini telah
mengering. Kakinya
yang sebesar kaki
gajah, mulai kempes
hingga akhirnya
kembali ke bentuk
semula.
Istri Sholihah
Sufyan bersyukur, ia
yang semua melawan
kehendak dokter,
akhirnya semakin
yakin bahwa janji
Allah benar adanya.
Selain itu, salah satu
yang menyebabkan
dirinya termotivasi
untuk sembuh adalah
peran istri tercintanya
yang dinilai sangat
sholihah.
Betapa tidak bahagia,
ia mengaku memiliki
istri yang setia dalam
suka maupun duka.
Kesabaran istrinya,
Siti Chud Faidah, di
kala ia menderita,
tiada ternilai
harganya.
Semenjak ia
menderita, Faidah lah
yang akhirnya
berperan ganda.
Selain menjadi ibu
rumah tangga, ia
terpaksa harus
mengantar kemana-
mana kegiatan Sufyan,
termasuk saat
mengajar kuliah.
Faidah lah yang harus
menjadi sopir untuk
antar jemput kegiatan
sang suami.
Bahkan, demi
mengfokuskan
perhatian dalam
melayani sang suami,
wanita kelahiran
Surabaya tahun 1972
ini, rela menghentikan
seluruh aktivitasnya,
sebagai kepala
sekolah salah satu MI
di Sidoarjo dan kuliah
pasca sarjana di STAI
Al-Khaziny.
“Sebaik-sebaik
perhiasan dunia
adalah istri shalehah,”
ujar Sufyan menukil
kandungan hadits.
Kini, akibat kesabaran
mereka berdua, Allah
berkenan meneteskan
“ madu” nya berupa
nikmat kesembuhan
dan nikmat iman yang
semakin kokoh.
Pasca perkembangan
kesembuhan Sufyan,
suami-istri ini yang
sabar ini tengah
memasang ‘kuda-
kuda’ untuk
menghadapi ujian
akhir kuliah. Sufyan
kembali sibuk
menyusun disertasinya
yang berjudul, “Guru
Profesional Dalam
Perspertif Filsafat
Pendidikan Islam ” ,
sedangkan istrinya
mempersiapkan tesis
yang mengangkat
judul, "Upaya Kepala
Sekolah Dalam
Meningkatkan Mutu
Pendidikan.”
Mengakhiri ceritanya
kepada
hidayatullah.com,
Sufyan hanya berpesan
pendek untuk tak
selalu berprasangka
buruk pada Allah,
bahkan terhadap ujian
berupa sakit. “Kadang,
sakit itu nikmat,”
ujarnya. [Robin Sah/
hidayatullah.com]